Senin, 17 Mei 2010

Gampang-Gampang Susahnya Sebuah Relasi


-->
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari kata relasi ialah hubungan, perhubungan, serta pertalian dengan orang lain. Relasi mempunyai makna yang lebih luas. Suatu relasi ialah hubungan antara pihak yang satu dengan yang lain yang telah memasuki dunia satu sama lain. Kita memang tidak bias disebut pulau yang mengasingkan diri sendiri, tetapi kita masing-masing dapat dibandingkan dengan sebuah jazirah yang jauh menjorok dari daratan luas lainnya.
Dasar dari sebuah relasi ialah komunikasi. Jika kita mengawalinya dengan komunikasi yang baik, maka relasi tersebut akan bertumbuh menjadi sedemikian baik pula. Semua orang dilahirkan dengan hak-hak yang sama, termasuk hak untuk bebas dan merdeka. Maka kita pun harus memperlaukan sesame sebagai pribadi yang merdeka pula dengan cara memandangnya dari sisi kacamata manusiawi serta menaruhnya dalam jajaran subyek pada pikiran kita. Sehingga sebuah relasi dapat berlangsung secara seimbang dan kondusif, bukannya timpang.
Di Seminari, kita bukan hanya bergaul dengan sesame seminaris, melainkan juga dengan para staf. Ibu-ibu yang seharian berkutat di dapur, bapak-bapak yang setia menerima tamu di ruang rektorat, satpam yang suka berkeliling dari unit yang satu ke unit yang lain, para pamong, serta romo-romo, kami menganggap mereka semua layaknya anggota keluarga pula. Mereka bagaikan kakak dan orangtua yang senantiasa membimbing dan membantu kami dalam proses panggilan. Tentu cara ‘bergaul’ dan berkomunikasi dengan mereka berbeda dengan seminaris lain. Ada tiga unsur penting yang harus dibangun dalam relasi dengan para staf yang tentu saja makin mendukung proses panggilan kita.
Unsur pertama ialah keterbukaan. Kita harus saling terbuka agar dapat memasuki dunia satu sama lain. Dalam relasi, pihak-pihak ini selalu mencoba mengatasi berbagai perbedaan diantara mereka. Keterbukaan berarti benar-benar menerima pihak lain tampil berkepribadian sendiri.
Rasa hormat ialah unsur yang sama pentingnya dengan keterbukaan. Kita berhak dihargai dan dihormati sejauh kita juga menghargai dan menghormati orang lain. Rasa hormat akan timbul bila diterapkan dua arah. Jika kita tidak menghormati diri kita sendiri, tidak mungkinlah kita menaruh hormat terhadap kasih sayang orang lain kepada kita.
Kerendahan hati mempunyai makna yang hampir sama dengan rasa hormat. Dengan sikap rendah hati, kita mudah menganggap orang lain lebih utama daripad kita sendiri. Terlebih sebagai calon imam, kita akan mampu menguasai keangkuhan dan kesombongan diri dan makin mendekatkan kita dengan Allah.
Sebagai komunitas yang tinggal di satu atap, kita diuntungkan oleh berbagai faktor. Relasi antar seminaris makin erat hubungannya. Keeratan hubungan akan menghasilkan sikap saling dukung dan tidak menjatuhkan, bukannya malah mendukung dalam tindakan dan niat yang buruk, namun saling mendukung cita-cita hidup untuk menjadi imam. Dengan tujuan dan niat awal yang sama, yaitu menjadi gembala, makin mudah pula kita untuk saling memahami dan mendukung keterwujudan niat awal yang dahulu pernah kita bawa ke sini.
Layaknya seorang lelaki yang menginjak masa remaja, adalah wajar bila kita juga bergaul dengan wanita. Seminari yang menganut sistem pendidikan terbuka bagi para seminaris makin memperkaya pergaulan kita. Relasi dengan siswa-siswi Gonzaga menambah wadah tempat kita tidak pernah merasa sendirian. Selain menambah wawasan, bergaul dengan remaja pada umumnya akan membuat kita sadar dan merasa berkepentingan untuk memperbaiki keadaan yang dirasa kurang berkenan.
Dalam pergaulan dengan siswa-siswi Gonzaga, kita perlu menunjukkan citra sebagai seorang calon imam yang lebih dewasa, bersahaja, dan lebih mendalam.
Dapat dikatakan bahwa membangun sebuah relasi itu gampang-gampang susah. Apalagi bagi kita yang dituntut untuk memimpin kawanan domba yang beriringan di padang pasir nan luas. Kunci yang diperlukan dalam membangun sebuah relasi hanyalah keinginan untuk mengerti, menghidupkan, dan menjalankan relasi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar