Bagaimana mengatasi keterbatasan-keterbatasan kita adalah sesuatu yang sungguh-sungguh menjadi keprihatinan tiap orang yang menceburkan diri dalam usaha membawa damai. Menerima dan menguji keterbatasan kita merupakan suatu cara inti dalam mengatasi segala keterbatasan dalam diri kita. Pertama-tama perlulah kita menentukan prioritas, mana permasalahan yang lebih kompleks yang harus kita selesaikan. Kita tak perlu merasa bersalah bahwa kita telah menolak untuk memperbaiki yang lain karena ada keputusan yang telah kita ambil yang merupakan bentuk penerimaan keterbatasan kita. Yang kedua ialah mendorong orang yang telah menangani hal-hal yang tidak dapat kita tangani. Perlulah kita meneguhkan mereka yang mengambil risiko dengan berbuat baik. Berdoa merupakan salah satu bentuk dukungan itu. Dengan berdoa kita menjadi sadar bahwa kita adalah alat Roh Kudus semata dalam menjalankan suatu perbuatan baik. Kita memang memiliki peranan dalam apa yang kita jalankan, namun toh itu semua dapat terus berlangsung karena kerja Roh Allah. Yang ketiga ialah mengakui keberdoasaan kita atas apa yang tidak kita perbuat. Dengan begitu kita dapat berjuang kembali atas kegagalan kita dan mampu bangkit, tidak terus berada dalam keterpurukan.
Dalam menguji keterbatasan kita, perlulah kita mengibaratkan diri menjadi “setiap orang”. Ya, dengan begitu kita lebih mudah memahami orang lain, sebab kita telah membawa tiap-tiap hati. Keberanian berarti kebebasan dari segala rasa takut lahiriah. Cara untuk menjadi berani bagi Gandhi hanya bila kita sudah melepaskan diri kita dari hasrat-hasrat pribadi dan menyerahkan diri kepada Allah, barulah kita dapat berkata, berani dan bebas.
Bagi Gandhi, kaul atau yang dapat kita sebut prasetia dapat mengalahkan hasrat tertentu dan mengadakan perlawanan terhadap ketidakadilan. Prasetia tidak membatasi kebebasan, tetapi menjadikan kebebasan itu mungkin. Daya prasetia yang mampu mengalahkan kelemahan dikarenakan oleh penyerbuan dan pengerahan pribadi orang seluruhnya oleh prasetia itu.
Ada tiga hal penting yang perlu kita garis bawahi dalam mengatasi segala keterbatasan yang ada dalam diri kita. Yang pertama ialah mau bangkit ketika jatuh. Iman kita akan Yesus Kristus semestinya selalu mengingatakan kitaakan kejatuhanNya karena beratnya salib dan bangkit kembali untuk meneruskan perjalanan. Kejatuhan yanhg biasa dialami kita manusia ialah kejatuhan mental. Bila kita mengalami sesuatu yang dampaknya cukup mengena di hati kita, maka biasanya ada sedikit timbul rasa takut, khawatir, atau mungkin trauma bila menghadapi peristiwa semacam itu lagi. Aku pun pernah mengalami suatu kejatuhan. Ketika itu banyak sekali tugas dari sekolah yang harus kukerjakan. Timbullah rasa frustasi dan khawatir bilamana tugas ini tak dapat terselesaikan semuanya. Kemudian mencuatlah berbagai solusi dari pikiranku yang menurutku itu melanggar peraturan yaitu dengan mengerjakan tugas di warnet tanpa izin dari pamong seminari agar tak ada batasan waktu ketika aku mengerjakan tugas tersebut. Setelah berpikir cukup lama dengan pikiran yang agak cukup sehat daripada sebelumnya, aku memutuskan untuk berkata tidak untuk perbuatan itu. Kurasa aku yang tak bisa memanajemen waktu, jangan malah mempersalahkan peraturan. Maka, siang itu aku terpaksa tidak tidur untuk menyelesaikan tugas tersebut hingga akhirnya ada kepuasan setelah tugas itu terselesaikan.
Hal penting kedua ialah mau hadir dalam hati tiap orang. Mengapa hal ini begitu penting? Sebab hal ini mempengaruhi apa yang terlihat dan tak terlihat dari kita sendiri. Orang lain lebih mudah dalam menilai baik atau tidaknya diri kita. Dengan hadir dalam hati tiap orang, berati kita mencoba beradaptasi dengan orang lain sehingga akhirnya kita lebih mudah diterima oleh orang lain. Bukannya kita bersikap munafik, namun diterima dalam artian ini merupakan penerimaan kita karena kita mampu mengerti orang lain. Aku sebagai remaja merupakan sosok yang sulit mengerti orang lain dan hanya ingin dimengerti. Maka, persoalan pelik semacam ini mampu menghancurkan sebuah relasi yang nantinya akan mengakar kepada banyak hal yang lebih kompleks dari sekedar hubungan persaudaraan. Di seminari, aku hidup bersama orang lain yang memiliki berbagai karakteristik. Di sini kita dituntut untuk mau dan mampu mengerti yang berbeda itu. Jika tak ada pengertian, berati menunjukkan bahwa diri kita adalah pribadi yang hidupnya kurang sederhana dan tidak mau menerima keterbatasan orang lain dan diri sendiri.
Penyerahan diri kepada Allah merupakan hal penting ketiga yang perlu kita garis bawahi. Walaupun secara urutan, hal ini disebutkan terakhir bukan berarti menjadi kurang penting malah menjadi hal yang paling penting dan utama dalam menerima dan menguji keterbatasan kita. Bila kita telah menyerahkan diri kepada Allah, maka kita telah melepaskan diri kita dari hasrat-hasrat pribadi dan akhirnya kita menjadi berani untuk menyerahkan diri dan mempertaruhkan hidup. Aku pribadi belum mampu menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah setiap waktu. Biasanya aku baru mampu berserah kepada Allah ketika aku menghadapi suatu rintangan dan aku merasakan bahwa aku tak mampu menghadapinya sendirian. Aku tetap berupaya untuk menghadapi rintangan itu walau tidak sepenuhnya. Dan aku berserah kepada Allah dalam bentuk doa. Bagaimana hasilnya nanti, biarlah Allah memilih yang terbaik bagiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar