Rabu, 19 Desember 2012

Haruskah itu Bernama?


Aku ingin jadi Anaphalis javanica di ketinggian
Dengan korola kekuningan
Sang pendaki naik turun Mahameru, katanya “Aku taklukkan diri,
bukan puncak”
Lalu diberikan kepada hati yang ia puja

Ia menunggu kembangku mekar
Awan tetap berarak, berderap seperti pasukan berbaris
Mentari sinari kembangku
Embun, tetes hujan, semua turun dari langit
Basahiku bak air susu ibu
Sebulan, 5 tahun, 100 tahun, hingga 2 abad Ia tunggu kembangku mirip hari di angkasa
tanpa mentari, tanpa rembulan.

Bruk, sang pendaki tewas mati menimpaku dihunus teman seperjalanan
Mereka tetap lanjutkan perjalanan tanpa asa
Suara angin dari timur Ranukumbolo bisikkan sesuatu
Sebongkah batu hentikan langkah mereka
berpandangan lihat tangkai Edelweiss telah patah

Bukit suci kini jadi gundukan mayat merah darah
Anak sungai bercampur merahnya darah dan air mata
Rumput hijau telah layu, sayu, ditimpa pendaki mati
Aromanya terbawa angin tanpa warna

Ketemukan belulang  berdampingan edelweiss
Tengkorak menganga, sepasang bola mata
Dari mana datangnya gagak hendak comot bola mata
Merah darah masih masih menetes
dari pembuluh yang terburai

Gerimis turun dari langit ialah air mata ibu bumi yang jadi saksi
Awan gelap mencekam adalah duka yang coba langit kuburkan
Takutku adalah kepala unggas yang membenam 
Jeritku adalah nyanyian gagak beriringan
Khawatirku adalah ketika kuil gemakan gong kematian   

Hari demi hari berlalu
Aku tetap ingin jadi edelweiss, beri keindahan
untuk mereka yang punya hasrat
menembus horison capai kulminasi
Uhuk, uhuk batukku sindir mereka yang telah terkam sahabat
“Apakah keindahan harus bernama?
 Harus berwarna?”

-Rabu 19 Desember 2012, Depan komputer-

2 komentar:

  1. fix banget ini tugas puisinya bu anie. bener kan gueee? hahahhaha. udah gue follow tuuhh. follow jg dong yeahahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. punya lu udeh gw follow dull.. iya sih tugas bu anie tapi gw edit2 jadi agak pendek gitu

      Hapus