Dengan
korola kekuningan
Sang pendaki
naik turun Mahameru, katanya “Aku taklukkan diri,
bukan
puncak”
Lalu
diberikan kepada hati yang ia puja
Ia menunggu
kembangku mekar
Awan tetap
berarak, berderap seperti pasukan berbaris
Mentari
sinari kembangku
Embun, tetes
hujan, semua turun dari langit
Basahiku bak
air susu ibu
Sebulan, 5
tahun, 100 tahun, hingga 2 abad Ia tunggu kembangku mirip hari di angkasa
tanpa
mentari, tanpa rembulan.
Bruk, sang
pendaki tewas mati menimpaku dihunus teman seperjalanan
Mereka tetap
lanjutkan perjalanan tanpa asa
Suara angin
dari timur Ranukumbolo bisikkan sesuatu
Sebongkah
batu hentikan langkah mereka
berpandangan
lihat tangkai Edelweiss telah patah
Bukit suci
kini jadi gundukan mayat merah darah
Anak sungai
bercampur merahnya darah dan air mata
Rumput hijau
telah layu, sayu, ditimpa pendaki mati
Aromanya
terbawa angin tanpa warna
Ketemukan
belulang berdampingan edelweiss
Tengkorak
menganga, sepasang bola mata
Dari mana
datangnya gagak hendak comot bola mata
Merah darah
masih masih menetes
dari
pembuluh yang terburai
Gerimis
turun dari langit ialah air mata ibu bumi yang jadi saksi
Awan gelap
mencekam adalah duka yang coba langit kuburkan
Takutku
adalah kepala unggas yang membenam
Jeritku
adalah nyanyian gagak beriringan
Khawatirku
adalah ketika kuil gemakan gong kematian
Hari demi
hari berlalu
Aku tetap
ingin jadi edelweiss, beri keindahan
untuk mereka
yang punya hasrat
menembus
horison capai kulminasi
Uhuk, uhuk
batukku sindir mereka yang telah terkam sahabat
“Apakah
keindahan harus bernama?
Harus berwarna?”
-Rabu 19 Desember 2012, Depan komputer-
fix banget ini tugas puisinya bu anie. bener kan gueee? hahahhaha. udah gue follow tuuhh. follow jg dong yeahahahaha
BalasHapuspunya lu udeh gw follow dull.. iya sih tugas bu anie tapi gw edit2 jadi agak pendek gitu
Hapus